Tuesday, November 25, 2008

Optimalisasi Cross Selling

OPTIMALISASI CROSS SELLING DI BRI
MELALUI FINANCIAL PLANNER

Oleh : Novel Muhammad Al Maulana

Pendahuluan
Lembaga keuangan perbankan mempunyai peran penting bagi aktivitas perekonomian. Peran strategis bank tersebut sebagai lembaga yang berfungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efesien kearah peningkatan taraf hidup rakyat. Bank merupakan lembaga perantara keuangan (financial intermediaries) sebagai prasarana pendukung yang amat vital untuk menunjang kelancaran perekonomian. Sebagai lembaga intermediasi bank berupaya agar masyarakat bersedia menyimpan dananya, antara lain dalam bentuk tabungan, giro atau deposito, untuk kemudian menyalurkannya dalam bentuk kredit. Selain menjalankan fungsi sebagai lembaga intermediasi, bank juga memiliki peran lain yaitu sebagai pusat pelayanan jasa transaksi keuangan.
Pasca krisis moneter yang terjadi di Indonesia, secara perlahan industri perbankan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun dari tahun ke tahun, juga mulai aktifnya kembali aktivitas pembiayaan yang dilakukan oleh bank kepada sektor riil. Perkembangan ini diikuti oleh terjadinya persaingan yang semakin ketat antar bank, baik dalam penggalian dana maupun pemberian kredit. Berbagai cara dilakukan oleh bank untuk menarik nasabah, mulai dari penawaran produk yang lebih beragam, pelayanan yang lebih prima, promosi yang menarik, hingga hadiah yang menggiurkan. Tentu saja bank tidak mengharapkan terjadinya hubungan yang sesaat dengan nasabah, karena itu kepuasan nasabah mutlak diperlukan. Nasabah yang puas, sangat potensial menjadi nasabah yang loyal. Dan ini bisa membentuk customer based yang kokoh, yang akan memberikan kontribusi besar bagi perkembangan bank selanjutnya.
Pada awalnya bank hanya menawarkan produk tabungan dan pinjaman secara konservatif. Namun seiring dengan terjadinya perubahan gaya hidup dan kebutuhan masyarakat, disikapi dengan munculnya berbagai macam produk dan layanan perbankan yang inovatif dan variatif. Berbagai alternatif investasi banyak dirancang bank untuk nasabahnya, mulai dari tabungan rupiah dan dolar, giro, deposito, obligasi, sampai reksadana. Bank berusaha memberikan modifikasi dan tawaran yang menarik kepada nasabahnya. Pada dasarnya semua produk yang ditawarkan bank adalah sama, yaitu menyangkut interest (suku bunga) dan service (jasa layanan). Yang membedakan adalah modifikasi produk yang dilakukan sehingga sesuai dengan kebutuhan nasabah, misalnya dengan menambahkan fitur asuransi jiwa pada produk tabungan. Merancang sebuah produk perbankan bukanlah hal yang mudah, karena semakin banyak produk investasi lain diluar perbankan yang menarik. Nasabah pun semakin pintar dalam memilih tempat untuk menyimpan dananya. Bank harus jeli melihat setiap peluang dan memahami betul kebutuhan nasabah. Selain fokus pada produk yang dapat menghasilkan pendapatan bunga, saat ini bank mulai berupaya mencari sumber pendapatan dari biaya (fee) yang dikenal dengan fee-based income. Pendapatan fee-based income relatif lebih aman dan tanpa risiko bagi bank, dibanding pendapatan bunga kredit yang sering bermasalah karena kredit macet dan harus menghadapi fluktuasi suku bunga. Berbagai bentuk layanan transaksi keuangan kemudian disediakan untuk mendapatkan service charge. Hasilnya pendapatan fee-based income terbukti mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam total pendapatan yang diperoleh perbankan. Beberapa bank terutama bank asing sudah mengandalkan pendapatan fee ini hingga mencapai 70 % dari total pendapatannya.
Keberhasilan suatu produk sangat dipengaruhi oleh kualitas pelayanan yang diberikan. Ada dua bentuk pelayanan, yaitu yang bersifat non fisik (non human contact) dan bersifat fisik (human contact). Bank berlomba-lomba untuk menyempurnakan kedua bentuk layanan ini. Salah satu bentuk layanan non fisik yang sangat populer saat ini adalah Automatic Teller Machine (ATM). ATM merupakan bentuk layanan inovatif perbankan berbasis teknologi informasi, yang dihadirkan dengan tujuan awal agar nasabah tidak harus mengantre panjang di depan loket teller. Di Indonesia, ATM mulai diperkenalkan oleh Hongkong bank pada tahun 1986, yang kemudian diikuti oleh bank swasta nasional yaitu bank Niaga. Saat ini berdasarkan data Biro Riset Infobank (birl), di Indonesia ada 56 bank yang mempunyai ATM. Layanan dengan ATM ini mendapat sambutan yang positif, ditandai dengan meningkatnya pengguna ATM dari tahun ke tahun. Aktivitas yang dilakukan oleh nasabah melalui penggunaan ATM tidak lagi sebatas penarikan uang tunai, melainkan juga untuk transfer dana, dan berbagai transaksi pembayaran tagihan seperti telepon, listrik, sampai pengisian pulsa handphone. Nasabah merasa mendapat banyak kemudahan dengan menggunakan ATM untuk kegiatan transaksi keuangan mereka, dan tidak keberatan atas biaya (fee) yang dibebankan. Pada perkembangannya ATM tidak hanya memberikan value added service bagi nasabah, namun juga mendatangkan keuntungan bagi pihak bank dengan memperbesar pendapatan fee-based income.
Seiring dengan perkembangan produk dan layanan perbankan, berbagai strategi pemasaran pun dilakukan untuk menarik nasabah sebanyak mungkin. Salah satunya adalah promosi melalui iklan. Walaupun berbiaya mahal, namun cara ini dianggap efektif untuk mempopulerkan suatu produk atau layanan. Karena itulah bank-bank semakin rajin beriklan, baik melalui surat kabar, majalah, ataupun televisi. Disamping promosi melalui iklan, bank-bank juga banyak menawarkan hadiah yang menarik karena ternyata besar dan banyaknya hadiah menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan nasabah untuk menempatkan dananya. Yang kemudian menjadi beban bagi bank adalah biaya yang terhitung mahal untuk beriklan ataupun pemberian hadiah. Karena itu para pemasar perbankan mulai memikirkan alternatif lain untuk menjajakan produk dan layanan perbankan mereka. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menerapkan konsep cross selling, dimana bank akan memperkenalkan dan menawarkan berbagai produk dan layanan yang dimiliki kepada nasabah, dengan tujuan dan harapan agar nasabah bersedia menggunakan lebih dari satu produk ataupun layanan. Konsep cross selling muncul sebagai upaya untuk menyiasati mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk menjaring nasabah baru. Melalui konsep cross selling bank dapat memanfaatkan nasabah yang sudah ada untuk meningkatkan penjualan produk atau layanan mereka.
Proses terjadinya cross selling bisa disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
a. Cross selling atas dasar inisiatif customer/nasabah
Keputusan untuk melakukan cross buying bagi nasabah dapat terjadi karena kepuasan yang diperoleh nasabah tersebut ketika berhubungan dengan suatu bank, sehingga terdapat keinginan untuk menikmati produk-produk lain yang ditawarkan. Kepuasan ini sangat berhubungan dengan kualitas pelayanan. Untuk itu agar inisiatif cross buying nasabah timbul, mutlak diperlukan peningkatan pelayanan. Dalam hal ini bank tidak bisa hanya mengandalkan pelayanan standar, karena nasabah menuntut lebih. Bukan hal yang sulit bagi nasabah untuk memutuskan berpindah ke bank lain, yang dapat memberikan nilai lebih bagi nasabah dalam pelayanannya. Hal ini terjadi karena kemudahan akses dan biaya yang relatif murah untuk berpindah (switch) di industri perbankan saat ini. Kepuasan (satisfaction) merupakan bentuk evaluasi kinerja keseluruhan berdasarkan semua pengalaman masa lalu dalam mengkonsumsi produk (jasa) yang berkaitan dengan perusahaan (Anderson & Fornell, 1994: Bitner & Hubbert, 1994 seperti dikutip Jones, et al, 2000).
Hal lain yang dapat memutuskan nasabah untuk melakukan cross buying adalah karena keterpaksaan. Keadaan ini disebabkan karena posisi tawar dari nasabah yang lebih rendah daripada bank, misalnya jika hanya ada satu bank di suatu wilayah tertentu sedang ia memerlukan beberapa produk perbankan, maka mau tidak mau ia hanya dapat memakai produk yang ditawarkan bank tersebut. Keadaan keterpaksaan ini sudah tidak relevan lagi pada saat ini karena tingkat persaingan perbankan sudah semakin ketat dan merambah ke semua daerah.
b. Cross selling atas dasar inisiatif bank
Berdasarkan perkembangan gaya hidup dan pola pikir masyarakat yang semakin maju, bank saat ini bukan saja berfungsi sebagai lembaga intermediasi tetapi lebih dari itu bank saat ini berfungsi sebagai pusat penyedia jasa berbagai layanan keuangan. Hal ini memberikan peluang bagi bank untuk menciptakan dan menawarkan berbagai ragam produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jika menilik dari hirarki nilai pelanggan Philip Kotler, saat ini nasabah bank di Indonesia khususnya di perkotaan dapat dikatakan telah mencapai derajat keempat. Dimana pasar perbankan sudah dapat menyiapkan produk yang ditingkatkan (augmented product) yang tidak hanya dapat memenuhi keinginan nasabah saja, namun juga melampaui harapan mereka. Bahkan derajat kelima dari hirarki tersebut sudah dapat dimplementasikan oleh beberapa bank melalui produk potensial (potencial product), yang mencakup semua peningkatan dan transformasi yang akhirnya akan dialami produk tersebut dimasa datang. Disinilah perusahaan-perusahaan perbankan secara agresif mencari berbagai cara baru untuk memuaskan nasabah dan menambahkan manfaat pada penawarannya, yang tidak hanya memuaskan nasabah tetapi juga mengejutkan dan menggembirakan mereka.
Berbagai strategi pemasaran pun dirancang untuk menarik nasabah maupun calon nasabah, agar bersedia menggunakan tidak hanya satu produk saja atau menerapkan cross selling dengan tujuan menambah customer value. Definisi cross selling adalah strategi perusahaan untuk meningkatkan penjualan produk baru kepada konsumen yang sudah ada, berdasarkan pengalaman masa lalu mereka dalam mengkonsumsi produk perusahaan tersebut. Cross selling di desain untuk meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan, dan mengurangi kemungkinan berpindahnya konsumen ke perusahaan lain (mempertahankan pelanggan).

Penerapan Cross Selling Di BRI
Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah bank dengan jumlah pemilik rekening terbesar, yaitu 3,1 juta debitur dan lebih dari 30 juta penabung. BRI memiliki 325 cabang, 148 cabang pembantu dan lebih dari 4000 kantor kantor unit, dan pos-pos di bawahnya. Ini menunjukkan kekuatan besar yang dimiliki oleh BRI untuk keberhasilan penerapan sistem cross selling. Ditunjang lagi oleh semakin berkembangnya usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang memang menjadi core busines BRI. Dengan besarnya kekuatan dan peluang yang dimiliki, BRI dituntut bersikap proaktif menyikapi kebutuhan nasabahnya dengan menghadirkan beragam produk dan bentuk layanan keuangan. Tentu saja ini bukan hal yang mudah, karena tingkat persaingan yang semakin kompetitif. Produk perbankan adalah produk jasa yang notabene mudah ditiru, sehingga sulit untuk melakukan diferensiasi produk. Strategi pemasaran yang jitu dan kualitas pelayanan adalah jawaban untuk keberhasilan suatu produk. Cross selling merupakan strategi pemasaran yang efektif dan efesien, dan sangat potensial untuk diterapkan di BRI.
Dari temuan MARS dan rapat ALCO dapat diambil kesimpulan bahwa nasabah BRI yang sudah sangat loyal perlu dipelihara (retention) dengan memberikan nilai lebih (value added) karena ternyata berdasarkan survey MARS, komponen customer value yang diperoleh BRI masih rendah. Untuk itu BRI perlu melakukan penawaran produk lain kepada nasabahnya (cross selling).
Ada tiga hal penting yang perlu ditingkatkan dalam rangka suksesnya pelaksaan cross selling di BRI yaitu:
1. Product knowledge
2. Knowing Your Customer
3. Service Excellence
Jika ketiga unsur ini sudah baik tentu cross selling akan berjalan dengan sendirinya berdasarkan inisiatif dari nasabah sendiri. Pelaksanaannya sendiri, BRI sudah sering mengadakan pelatihan/pendidikan mengenai ketiga unsur tersebut. Tetapi mungkin hasilnya belum maksimal mengingat masih banyak pekerja BRI yang belum mengetahui produk-produk yang dikeluarkan oleh BRI, ini bisa menjadi indikator bahwa product knowledge pekerja BRI masih kurang.
Yang kedua yaitu menjalankan prinsip Knowing Your Customer (KYC). Penerapan prinsip mengenal nasabah diperlukan untuk meminimalisir kemungkinan risiko yang akan timbul seperti operational risk, legal risk, concentration risk dan reputation risk. Dari segi bisnis prinsip KYC memberikan manfaat yang besar bagi bank, yaitu dengan mengenal nasabah maka akan dapat dengan mudah diawasi perkembangan portofolionya sehingga dapat meningkatkan potensi cross selling. Prinsip KYC ini walaupun tujuan utamanya untuk mengidentifikasi transaksi mencurigakan (suspicious transactions) dalam rangka mengantisipasi praktek-praktek pencucian uang (money loundring) tetapi bisa juga digunakan untuk melakukan client profiling yang tentunya akan berguna dalam memberikan pelayanan yang berbeda pada nasabah yang berbeda, juga berguna untuk mengetahui produk-produk apa yang mungkin bisa ditawarkan pada nasabah tersebut. Mengetahui kebutuhan nasabah adalah pintu utama dalam melakukan cross selling. Banyak perusahaan menghabiskan biaya besar dalam peningkatan teknologi dengan membangun call centre, hal ini dalam rangka pelayanan dan mengetahui keinginan konsumen demi kemajuan perusahaan. Mengetahui kebutuhan, keluhan dan layanan informasi melalui call centre mungkin baru bisa dinikmati oleh masyarakat perkotaan. Hal ini bisa dikarenakan kurang sosialisasi atau dirasa rumit bagi masyarakat ditingkat pedesaan. Lalu bagaimana dengan nasabah BRI yang berada di pedesaan sebagai nasabah BRI Unit ? Demam hand phone yang melanda masyarakat kita bisa dijadikan jalan untuk membangun layanan ‘call centre’ dengan biaya murah yaitu melalui SMS centre. Demi pelayanan yang memuaskan kita bisa membuka layanan baik pengaduan, kritik, saran atau hal-hal lain demi kemajuan perusahaan melalui SMS langsung kepada Pinca atau Kepala Unit. Beberapa instansi pemerintah sudah membuka layanan SMS untuk menampung keluhan atau saran dari masyarakat demi kemajuan bersama. Tentu hal ini juga bisa dilakukan oleh sebuah perusahaan seperti BRI. Layanan ini dinilai akan lebih efektif dalam menjangkau seluruh kalangan dan dalam pencapaian sasaran yaitu mengetahui kebutuhan nasabah mengingat kebutuhan dan karakter nasabah berbeda di tiap daerah.
Mengetahui profil nasabah (client profiling) merupakan hal penting dalam rangka pengembangan produk. Profil disini bukan hanya masalah berapa sumbangan yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan tetapi juga mengetahui karakter sifat dari kebanyakan nasabah.
Sudah saatnya BRI mengembangkan produk Dana Pensiun karena karakter nasabah BRI adalah bukan tipe pengambil resiko. Karakter nasabah BRI dalam mengambil risiko termasuk yang suka risiko rendah (more risk averse) dan defensif, artinya mereka lebih mengutamakan sumber pendapatan tetap, teratur, stabil, yang tidak berisiko besar terhadap modal. Produk dana pensiun inipun harus mempunyai segmentasi yang berbeda seperti halnya produk tabungan yang mempunyai segmentasi yang berbeda antara Britama dan Simpedes. Kita ambil contoh Bank Jateng (BPD Jateng) yang mempunyai profil dan karakter nasabah hampir sama dengan BRI walaupun dalam lingkup yang lebih kecil tentunya, sampai dengan bulan Juni 2005 sudah mampu menghimpun peserta DPLK sebanyak 58.475 nasabah dengan total saldo Rp. 83,2 miliar.(SM, 24/08/05)
Yang ketiga yaitu service excellence, berdasarkan hasil survey Marketing Research Indonesia (MRI) pada tahun 2002, BRI belum masuk dalam “Top 10 Bank’s Service Excellence”. Jadi perlu reward dan punishment yang jelas pada pekerja mengenai permasalahan ini. Kecenderungan yang terjadi pada saat ini masalah pelayanan, menjalin hubungan dengan nasabah adalah tanggung jawab pekerja lini seperti customer service. Tetapi sesungguhnya setiap pekerja di level manapun harus bisa menjalin hubungan yang baik dengan nasabah karena kalau salah satu level manajemen dalam perusahaan tidak memahami bagaimana mengelola hubungan dengan nasabah, maka kerja keras yang dilakukan tim marketing untuk memperoleh nasabah akan menjadi sia-sia.
Ada sebuah cerita menarik dari Klinik Marketing IMA Semarang yang ditulis di sebuah harian umum, yaitu ada seorang pelanggan di sebuah toko buku yang mengurusi pengadaan barang menjadi berang akibat pelayanan yang tidak memuaskan dari seorang tukang parkir. Hanya karena ulah suatu level manajemen, atau bahkan mungkin tidak termasuk level manajemen, yaitu tukang parkir bisa membuat suatu hubungan menjadi buruk, apalagi jika dilakukan di beberapa level manajemen lainnya.
Ada beberapa tahapan yang harus dicapai dalam mengelola hubungan dengan pelanggan. Pertama customer acquisition, yang ditandai dengan bertambahnya jumlah pelanggan suatu perusahaan. Dalam hal ini perusahaan harus jeli melihat peluang pasar baru.
Kedua, customer retention, ditandai dengan keberhasilan menjaga konsumen tetap memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan. Biasanya ditandai dengan pembelian ulang (repeat buying) dan frekuensi komunikasi konsumen dengan perusahaan yang cukup sering. Pada tataran ini biasanya semua karyawan masih senang merawat dan melayani konsumen, karena konsumen belum terlalu dekat (baru mulai dekat). Strategi cross selling berusaha mencapai tataran ini, yaitu pelanggan/nasabah akan melakukan pembelian ulang atau pembelian silang (cross selling).
Ketiga, customer engangement yaitu “bertunangan dengan konsumen”. Kedekatan konsumen dengan perusahaan sudah sedemikian erat, sehingga konsumen sudah menghilangkan jarak (gap) dirinya dengan perusahaan, baik dari sisi rasional maupun emosional. Tataran ini yang membuat pelanggan telah menjadi satu dengan perusahaan (IMA, SM 01/09/05).

Strategi Cross Selling di BRI melalui Financial Planner
Diperlukan strategi khusus agar cross selling dapat berjalan secara maksimal. Ada beberapa strategi dalam menerapkan cross selling di sektor perbankan, diantaranya yang mulai marak saat ini adalah bancassurance. Namun sesungguhnya masih banyak kebutuhan jasa keuangan lain dari nasabah yang bisa digali, selain asuransi yang bisa menjadi nilai tambah bagi bank. Untuk mengetahui kebutuhan konsumen terutama dibidang jasa keuangan diperlukan seorang perencana keuangan atau financial planner. Di Indonesia profesi financial planner ini mulai merambah, khususnya di daerah perkotaan. Profesi ini memiliki berbagai istilah lain, seperti Financial Advisor atau Financial Consultant. Pekerjaan financial planner ini sedikitnya meliputi lima area yakni, asuransi dan perlindungan, investasi, pajak, kompensasi dan dana pensiun, aset-aset dan warisan.
Konsep cross selling melalui financial planner adalah untuk menjawab tren yang berkembang di masyarakat atau nasabah saat ini. Fungsi dan peran bank bukan lagi sebagai lembaga intermediasi tetapi sudah berkembang menjadi penyedia seluruh jasa keuangan (wealthrelated service). Peranannyapun bukan sebagai lender bagi nasabah tetapi menjadi solution provider.
Pelayanan perbankan yang dibutuhkan nasabah saat ini tidak hanya melulu masalah tabungan, pinjaman, atau deposito saja, melainkan juga pelayanan yang mencakup keseluruhan jasa keuangan. Financial planner-lah yang dibutuhkan oleh bank dalam rangka menjembatani kebutuhan jasa keuangan nasabah dengan produk serta layanan yang dimiliki bank. Sehingga diharapkan nasabah bersedia melakukan cross buying atas produk yang berbeda.
Ide penyediaan financial planner di bank didasarkan pada perubahan gaya hidup dan kemajuan masyarakat saat ini yang membutuhkan kecermatan dan ketepatan dalam berinvestasi ataupun kemudahan dalam melakukan transaksi keuangan mereka. Penggunaan jasa financial planner di bank akan memberikan value added service bagi nasabah, sekaligus memberikan keuntungan bagi pihak bank.
Saat ini sudah banyak bank yang menawarkan jasa perencana keuangan kepada nasabahnya, tetapi pelayanan ini terbatas hanya pada nasabah-nasabah kelas atas dengan limit saldo simpanan tertentu. Istilah yang berkembang di kalangan perbankan yaitu pelayanan wealth management dan masing-masing bank mempunyai nama sendiri atas pelayanan exclusive semacam ini seperti private banking, priority banking, VIP banking dan sebagainya.
Pelayanan wealth management sesungguhnya tidak hanya dibutuhkan oleh orang-orang kaya saja. Masyarakat menengah ke bawah pun membutuhkan layanan ini. Misalnya dalam menyusun anggaran rumah tangga, neraca keuangan keluarga, perencanaan asuransi dan pemilihan produk investasi. Tren pelayanan wealth management di bank perlu disikapi dengan serius tanpa merubah segmen yang selama ini menjadi core business BRI yaitu nasabah UMKM.
Jika menilik sejarah perbankan di Indonesia, pada awalnya sektor UMKM yang menjadi core busines BRI tidak banyak dilirik oleh bank pesaing, tetapi seiring dengan jalannya waktu dan berdasarkan keadaan serta kondisi masyarakat Indonesia, ternyata sekarang hampir semua bank sudah menggarap sektor UMKM. Dukungan pemerintahpun semakin nyata dengan adanya Tahun Keuangan Mikro Indonesia (TKMI). Bahkan kehormatan besar bagi BRI yang juga merupakan pengakuan internasional adalah dengan diundangnya Dirut BRI bapak Rudjito untuk berbicara mengenai microfinance dalam forum pencanangan tahun internasional kredit mikro (International Microcredit Year 2005) di markas besar PBB, New York pada tanggal 18 November 2004.
Inilah saatnya BRI kembali membuat terobosan baru dibidang layanan perbankan tanpa merubah segmen nasabah maupun core busines yang sudah ada. Dengan menyediakan layanan wealth management untuk seluruh nasabah baik nasabah kelas atas maupun nasabah mikro, kecil dan menengah melalui financial planner. Tidak perlu merubah core business dan strategi bisnis secara drastis. Sampai saat ini keunggulan BRI adalah pada nasabah UMKM dan jaringannya yang luas tersebar di seluruh Indonesia. Banyak bank yang berlomba menyediakan ATM dalam jumlah yang besar dengan maksud menurunkan human contact dengan nasabah. Bagi BRI sendiri adanya human contact ternyata masih efektif karena nasabah BRI Unit terutama, umumnya berada di pedesaan masih mengedepankan hubungan (relationship) antar manusia. BRI jangan terlena dalam persaingan dibidang Teknologi Informasi (TI). Yang justru diperlukan saat ini adalah bersaing diseluruh kegiatan bisnis BRI berdasarkan karakter dari nasabah dan wilayah-wilayah yang berbeda. Kita perlu memperbaiki citra BRI sebagai bank yang tertinggal di bidang TI terutama di perkotaan, tanpa mengesampingkan persaingan yang sangat ketat pula pada sektor UMKM di daerah, jadi jangan sampai seperti kata pepatah jawa “Mburu uceng kelangan deleg (mengejar anak katak kehilangan ikan besar)”. Maksudnya, karena sibuk memikirkan hal lain, kita lupa pada “lahan” kita sendiri yang lebih menjanjikan.
Menilik tulisan Bapak Krisna Wijaya, pelajaran yang diperoleh dari perjalanan sejarah BRI selama 109 tahun ialah hadirnya suatu fenomena bahwa setiap bank BRI ditarik kearah perubahan yang tidak sejalan dengan “kodratnya” maka yang akan muncul kemudian permasalahan, dengan kegagalan sebagai muaranya. (Krisna Wijaya, 2004). Tetaplah BRI pada kodratnya sebagai bank yang fokus pada pemberdayaan ekonomi rakyat (microbanking) karena masih banyak potensi yang bisa digali di sektor ini. Yang perlu dirubah hanya pola pikir dan strategi dalam menggali potensi ini sehingga menghasilkan keuntungan maksimal. Mengutip istilah Bapak Krisna Wijaya “BRI adalah bank ndeso rejeki kota”.
Ada dua sasaran utama dari layanan financial planner. Sasaran jangka pendek yaitu untuk menjaga loyalitas nasabah sehingga dapat mengefektifkan cross selling. Sedangkan sasaran jangka panjang yang akan dicapai adalah menjadikan bank BRI bukan lagi sebagai lembaga intermediasi saja, tetapi juga menjadi lembaga penyedia seluruh jasa keuangan.
Kita bisa menganalisa ide strategi cross selling di BRI dari dua segi. Dari segi kekuatan, nasabah BRI yang banyak, tersebar di seluruh Indonesia dan cenderung loyal menjadi kekuatan utama. Hingga awal tahun 2004 penabung BRI mencapai 30 juta nasabah dengan jumlah tabungan Rp. 72,3 triliun. Penyaluran kredit bank BRI mencapai 45,6 triliun (nomor dua di Indonesia). Market share BRI mencapai 8%, loan market share Bank BRI mencapai 10%, dengan 86% diantaranya diperuntukan bagi UMKM, ini kekuatan besar yang potensinya perlu digali lagi lebih dalam dan dikembangkan (intensifikasi) karena jangan sampai market share ini tergerus.
Sedangkan dari segi hambatan yaitu kurangnya pemahaman nasabah tentang produk-produk investasi lain yang dimiliki bank BRI selain yang konvensional dapat diselesaikan dengan adanya financial planner. Jika sudah ada kekuatan besar dan hambatan yang bisa diatasi maka tujuan memaksimalkan cross selling di BRI akan tercapai dengan baik.
Ada tiga opsi yang mungkin dilakukan BRI jika akan menggunakan jasa financial planner untuk keberhasilan penerapan strategi cross selling:

1. Penyediaan tenaga financial planner di BRI dari pekerja sendiri.
Tujuan utama dari opsi ini benar-benar untuk melakukan cross selling yang berarti sasaran intinya adalah untuk menawarkan produk lain kepada nasabah lama disamping produk yang telah dinikmatinya, bukan mencari nasabah baru. Opsi ini memberikan keuntungan lain disamping sebagai jembatan cross selling juga dapat meningkatkan pendapatan fee based income, bukan hanya dari fee pelayanan financial planning, tetapi fee yang akan di dapat dari hasil menjual produk investasi dari lembaga keuangan lain. Produk-produk lembaga keuangan lain seperti reksadana, asuransi, saham, obligasi, Sertifikat Bank Indonesia, dan lain-lain yang bukan merupakan produk investasi BRI sendiri. Sebagai perbandingan, di luar negeri pendapatan fee perbankan umumnya tinggi seperti di Korea (20 persen), Jepang (37 persen), bahkan di Amerika mencapai 75 persen, lebih banyak dari pendapatan bunga ( Marihot Tambunan, 2005)
Kendala yang paling besar jika memilih opsi ini adalah biaya untuk mendidik pekerja agar menjadi seorang financial planner yang handal. Tetapi kita harus bisa melihat manfaat yang akan datang. Investasi yang ditanamkan untuk membangun SDM yang handal akan memberikan keuntungan yang besar disamping sebagai pondasi bagi kelangsungan hidup perusahaan. SDM yang handal disini bukan hanya mengerti masalah perbankan tetapi setidaknya mempunyai pengetahuan lebih tentang keseluruhan jasa keuangan sehingga visi BRI yaitu menjadi bank komersial terkemuka yang mengutamakan kepuasan nasabah akan tercapai.
Saat ini di Indonesia sudah ada beberapa organisasi Financial Planning salah satunya adalah Financial Planning Association Indonesia (FPAI) yang disponsori oleh beberapa bank dan perusahaan asuransi. Beberapa diploma Financial Planing yang disponsori oleh FPAI sudah mendapat pengakuan internasional. Kita bisa mengirimkan beberapa pekerja terutama yang concern dibidang keuangan dan pemasaran untuk memperdalam ilmu financial planning untuk kemudian mereka bisa ditempatkan di unit kerjanya masing-masing dengan jabatan sebagai financial planner. Pada tahap awal sebagai efektifitas penggunaan jasa financial planner oleh nasabah bisa dimulai untuk cabang-cabang dan unit-unit yang berada di wilayah perkotaan yang notabene mempunyai karakter nasabah yang sudah bank minded, berpikiran maju, melek teknologi dan mempunyai nilai potensial. Selain faktor lokasi, faktor biaya juga penting. Sebaiknya nasabah tidak perlu dikenakan biaya dulu, tetapi tidak menutup kemungkinan pula suatu saat nanti jasa ini bisa mengenakan biaya bagi penggunanya sehingga bisa menambah pendapatan bank sebagai fee based income.

2. Penyediaan tenaga financial planner di BRI melalui outsourcing
Alasan klise dari outsourcing adalah untuk mengalihkan pekerjaan yang bukan bisnis inti ( non-core business ) kepada perusahaan rekanan sehingga perusahaan dapat fokus pada bisnis inti. Teknik outsourcing dinilai sangat efesien dalam investasi dan maintenance. Hampir semua perusahaan di Indonesia sudah menggunakan jasa outsourcing termasuk BRI, jadi jika ingin menyediakan tenaga financial planner dengan bantuan jasa outsourcing, teknik pelaksanaannya sudah tidak asing lagi digunakan di BRI sehingga tidak terlalu banyak mengambil risiko.
Jika memilih opsi ini maka yang harus dipikirkan lebih jauh adalah masalah biaya yang harus dikeluarkan karena tenaga financial planner adalah tenaga yang memerlukan keahlian khusus sehingga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Jadi perlu dipertimbangkan masalah efektifitas berdasarkan keadaan wilayah serta karakteristik nasabah dimana tenaga tersebut akan ditempatkan.
Disamping masalah biaya yang harus diperhatikan apabila akan menggunakan tenaga financial planner melalui jalan outsourcing adalah loyalitas yang rendah dari tenaga tersebut. Masalah loyalitas ini dapat diminimalkan dengan memberikan target, namun dalam pelaksanaannya sulit dilakukan karena tanggung jawab financial planner sebatas sebagai penyedia jasa konsultasi. Masalah lain yang perlu dikhawatirkan adalah menyangkut kredibilitas pelayanan BRI yang akan dipertaruhkan. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa pelayanan merupakan hal krusial karena sangat mempengaruhi kepuasan nasabah. Dengan meng-outsourching sebagian dari bentuk layanan yang kita tawarkan, berarti kita meng-outsourching kredibilitas layanan kita. Dan hal ini akan menimbulkan kerugian besar, apabila tingkat layanan yang diberikan tenaga outsourcing tidak sesuai dengan standar layanan BRI.

3. Bekerjasama dengan perusahaan jasa Perencana Keuangan /Financial Planning
Dalam prakteknya seorang financial planner di sebuah perusahaan Financial Planning akan memberikan alternatif solusi keuangan kliennya dengan bersikap independen. Maksudnya, ketika ia menyarankan agar kliennya menempatkan dananya di deposito misalnya, perencana keuangan tidak menunjukan secara pasti di bank mana deposito tersebut harus ditanamkan. Keadaan ini bisa dimanfaatkan oleh pihak bank, agar financial planner merekomendasikan produk-produk dan berbagai layanan keuangan yang dimilikinya. Konsep cross selling ini dalam pelaksanaannya secara teknis bisa mengadopsi dari teknik kerjasama antara produsen obat-obatan dengan dokter dalam memasarkan produk obat-obatannya melalui Medical Representative. Kita bisa menganggap seorang financial planner layaknya seorang dokter keuangan yang membantu ‘menyembuhkan’ masalah keuangan nasabah.
Sudah banyak perusahaan-perusahaan jasa perencana keuangan yang berdiri di Indonesia sebut saja misalnya Safir Senduk dan Rekan, ABC Consulting, Sarosa Consulting, Pavillion Capital, Prime Planner dan lain-lain. Cross selling melalui kerjasama dengan perusahaan financial planning tentu tidak bisa dilakukan di semua daerah, karena perusahaan financial planning jumlahnya masih terbatas dan hanya terdapat di kota-kota besar, biaya yang perlu dikeluarkannyapun cukup tinggi. Alih-alih mendapatkan fee, malahan pihak bank sendiri yang harus membayar fee atas setiap nasabah yang berhasil direkomendasikan oleh perusahaan financial planning tersebut. Biaya ini memang cukup berat mengingat para pengguna jasa financial planner pada perusahaan financial planning masih terbatas pada nasabah kelas atas dan nasabah korporasi. Sedangkan seperti kita ketahui sendiri bahwa di Indonesia khususnya, kredit korporasi tidak selalu bisa dilakukan rational pricing. Artinya, biaya atau bunga yang dikenakan sering lebih rendah (underprice) daripada yang berlaku di pasar. Sebaliknya untuk simpanan, nasabah yang mempunyai dana besar tentu akan menuntut bunga yang besar pula sehingga bunga simpanan bisa berada pada tingkat bunga negoisasi maksimal. Dengan keadaan ini beban biaya atau bunga akan menjadi lebih berat karena harus mengeluarkan biaya fee atas jasa financial planner. Walaupun terdapat kendala berupa keterbatasan wilayah dan biaya yang tinggi tetapi kita harus bisa melihat manfaat yang jauh lebih besar yaitu adanya multiplier efeck yang dihasilkan tentu akan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.
Nilai lebih dari bekerja sama dengan perusahaan financial planning dengan tanpa menempatkan tenaga financial planner di bank adalah disamping membantu pelaksanaan cross selling juga bisa menjaring nasabah-nasabah baru. Kelemahan dari bentuk kerjasama dengan perusahaan financial planning ini adalah ketika bank lain ikut melakukan kerjasama yang serupa. Dan sulit bagi kita untuk memiliki daya tawar (bargaining power) yang cukup agar perusahaan financial planning tersebut memprioritaskan merekomendasikan produk kita terhadap klien mereka.

Implementasi
Dari ketiga opsi tersebut di atas, bukan berarti kita harus memutuskan satu opsi sehingga mengabaikan opsi lain. Implementasinya dilapangan, pemilihan opsi tersebut harus didasarkan pada kondisi yang ada. Misalkan untuk kota-kota besar, demi efektivitas tidak ada salahnya jika bekerjasama dengan perusahaan financial planning, tetapi untuk kota-kota kecil yang tidak terdapat perusahaan financial planning, bisa merekrut tenaga financial planner melalui outsourcing atau dari pekerja BRI sendiri yang sudah dididik masalah financial planning. Masalah pendidikan inipun harus benar-benar efektif karena tidak mungkin semua pekerja dididik oleh lembaga profesional dibidang financial planner.Yang mungkin dapat dilakukan adalah menambah pendidikan pemasaran, strategi cross selling dan financial plannig kepada seluruh pekerja di dalam kurikulum sentra pendidikan BRI.
Dengan adanya financial planner ini tidak harus merubah core business yang telah tercipta, justru inilah yang menjadi keunggulan karena financial planner yang ada di BRI akan mempunyai karakteristik yang unik. Karakteristik utama dari layanan ini (yang membedakan dengan bank lain) adalah financial planner bagi nasabah kecil dan menengah serta UMKM yang memang menjadi core busines BRI. Dari segi namapun perlu dipikirkan bahwa nama dari layanan ini bisa dipahami dan dimengerti oleh semua kalangan. Misalnya perencana keuangan, konsultan keuangan dan sebagainya.
Hal lain yang penting tetapi sering terabaikan jika melakukan suatu hal baru adalah yaitu masalah sosialisasi. Demi efektifnya layanan financial planner diperlukan sosialisasi yang berkesinambungan dan menyeluruh kepada semua stakeholder BRI. Semoga dengan profesionalisme dan integritas seluruh jajaran pekerja, BRI akan tetap menjadi bank terbaik

No comments: